Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai
seks. Jika tidak mendapatkan pendidikan seks yang sepatutnya, mereka
akan termakan mitos-mitos tentang seks yang tidak benar. Informasi
tentang seks sebaiknya didapatkan langsung dari orang tua yang memiliki
perhatian khusus terhadap anak-anak mereka.
Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen remaja
di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah. Angka yang
memprihatinkan di negeri yang cukup menjunjung tinggi nilai moral
sehubungan seks. Mengapa mereka bisa melakukan hubungan seks pranikah?
Penyebabnya karena kurangnya pendidikan seks kepada anak dan remaja.
Kapan pendidikan seks bisa mulai dilakukan?
Memasuki usia remaja, hasrat dorongan
seksual pada anak biasanya akan mulai muncul, begitu pula pada anak
autis. Oleh karena itu, orangtua sebagai figur panutan harus mampu
membimbing dan memberikan pemahaman yang tepat kepada anak terutama
dalam hal seksual.
Koordinator Klinik Terpadu, Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S mengatakan,
sebelum memasuki usia remaja, orang tua dari anak autis seharusnya
sudah membekali anak mereka mengenai pendidikan seksual.
“Bisa mulai dari menjaga kebersihan
tubuh sendiri, hal-hal yang privasi, dan kemandirian,” katanya, saat
ditemui dalam acara Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of
Public Relations, dengan tema Autism Awareness Festival, Sabtu,
(14/4/2012).
Apabila anak autis sudah mulai mengenal konsep cinta, maka orangtua perlu mengarahkan anak mereka mana yang boleh dan tidak.
Adriana mengatakan, seorang ayah
sebaiknya mengajarkan edukasi seks kepada anak laki-laki, sedangkan ibu
mengajarkan kepada anak perempuan. Tetapi permasalahannya, orangtua
selama ini seringkali merasa kesulitan jika tiba-tiba harus bicara
tentang seks kepada mereka, apalagi pada anak dengan berkebutuhan
khusus, seperti autis.
Menurut Adriana, ada banyak cara yang
bisa dilakukan supaya orang tua bisa menyampaikan informasi yang benar
tentang seks kepada anak mereka. Misalnya, dengan memasukkan anak ke
sekolah yang memberikan pendidikan seks atau apabila belum cukup bisa
memanggil guru agama.
Tapi untuk anak-anak yang bisa membaca,
orangtua bisa membelikan anak mereka buku tentang pendidikan seksual.
“Pilih mana buku yang cocok bahasanya untuk anak,” paparnya.
Pada masa puber, anak autis seringkali
tidak memiliki perasaan malu saat berjalan telanjang, memperlihatkan
alat kelamin, membuka celana, dan masturbasi di tempat umum.
Untuk melepaskan hasrat seksualnya
tersebut, Adriana menyampaikan, masturbasi memang dibutuhkan oleh anak
autis. Karena menurutnya, kalau hal ini tidak dilakukan, anak akan
menjadi tertekan.
Namun orangtua harus mengajarkan kepada
anak mereka agar tidak melakukan hal tersebut di tempat-tempat yang
terbuka dan umum. “Itu seperti kebutuhan dasar. Sama seperti makan dan
minum. Cuma hal ini menjadi sesuatu yang memalukan karena dianggap
tabu,” jelasnya.
Untuk menangani dorongan seksual pada
anak autis, orang tua sebaiknya harus bijaksana. Bagaimanapun, dorongan
seksual merupakan kebutuhan biologis yang harus dapat tersalurkan namun
harus tetap sesuai dengan norma supaya tidak merugikan orang lain.
Adriana menuturkan, beberapa kegitan
seperti olahraga biasanya dapat mengalihkan pikiran anak untuk tidak
melakukan masturbasi. “Tetapi kalau keinginan itu tetap terus ada, kita
harus memperbolehkannya tapi harus ditempat yang privat,” tutupnya.
Sumber : kompas.health.com