Sullivan mengawali tulisannya dengan menggunakan pandangan Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA). Jefferson menyatakan dirinya sebagai pengikut Yesus, namun menolak mengikuti doktrin gereja.
Sullivan
memuji tindakan Jefferson yang telah mengedit ulang Alkitab (Bibel)
selama 77 tahun sejak berusia 27 tahun pada 1820 silam. Presiden ketiga
AS menyusun Alkitab baru dengan mengamputasi semua hal yang menurutnya
tidak bisa diterima akal seperti mukjizat dan kelahiran Yesus, untuk
mendapatkan apa yang menurutnya ‘Ajaran Asli Yesus.’ Hasilnya, Alkitab
yang lebih tipis itu diberi nama “The Jefferson Bible.”
Tak bisa
disangkal memang, sekarang ini banyak sekali isu yang melanda gereja.
Salah satu yang terbesar adalah skandal seks gereja Katolik, ketika
banyak pastur dan uskup yang menolak untuk mengakui maha-skandal ini dan
memilih berlindung di balik pengacara. Lebih buruk lagi, agama dan
gereja telah dibawa ke ranah politik di AS akhir-akhir ini, di mana 3
dari 4 calon presiden dari partai Republik terang-terangan membawa
pandangan agama sebagai pandangan politik. Bahkan Obama juga telah
membawa isu agama dengan mengaitkan kebijakannya dengan ajaran Yesus
tentang ‘mengasihi sesama seperti diri sendiri’. Fenomena itu dinilai
mengotori agama dengan politik praktis dan kepentingan sesaat.
Blak-blakan
Sullivan memaparkan bagaimana dunia kekristenan dewasa ini dirusak
dengan politik, skandal dalam gereja, dan pendeta-pendeta evangelis yang
menyuarakan ajaran ‘kemakmuran’. Ia juga mengkritik keras ‘perkawinan’
antara kekuasaan dengan ajaran Yesus, di mana agama yang mengajarkan
kedamaian beralih menggunakan kekerasan sebagai alat, karena kekuasaan
tak bisa dipisahkan dari penggunaan kekerasan.